[JEPANG] HIPNOTIS KOTA TOKYO



Sudah nggak tahu berapa lama saya meninggalkan blog ini terdiam karena kesibukan-kesibukan yang harus saya lakukan. So, mari mengawali post ini dengan tulisan yang akan menggambarkan bagaimana saya nggak bisa move-on setelah trip singkat ke Tokyo awal bulan Mei ini.

Mungkin kalian juga sering denger kalau Jepang itu memang nggak bisa dikunjungin cuma sekali dan banyak juga yang bilang kalo Jepang se-ngangenin itu. Saya pun juga selalu punya wishlist untuk bisa ke Tokyo karena Tokyo selalu menjadi gambaran ideal sebuah kota di otak saya. Maklum, saya ini anaknya kota banget. Berangkatlah saya dengan penuh kegembiraan dan hati yang berbunga-bunga. Gimana nggak? Salah satu impian saya menjadi kenyataan kok!

Sesampainya di Tokyo, udaranya langsung beda. Rasanya napas bersiiiiih banget dan saya yakin orang Jepang jarang ngupil (?). Hal pertama yang bikin saya takjub pas saya turun di statsiun Keikyu buat nyambung kereta lokal di Keikyu Kamata adalah semua bapak-bapak tampilannya rapi banget kayak ayahnya Nobita. Setelan jas, kacamata, pantofel, dan nggak lupa tas tenteng bentuk kotak. It's real bruh! Pemandangan anak-anak kecil yang mandiri pergi sekolah juga nyata, pada gemes-gemes banget I wanna cri.

Untuk daerah rada kepinggir gitu emang bikin takjub mulai dari toko-tokonya, jalanan yang super bersih, dan tatanan rumah-rumah kecil yang fotogenik ini bener-bener bikin hati adem banget. Semuanya serba rapi, tapi kalau di kota kayak Shibuya atau Harajuku rasanya nggak beda jauh sama Korea. Bedanya mungkin cuma neon-neon sign yang menjadi salah satu signature Tokyo. Ya kayak di Tokyo Drift deh.

Beberapa orang yang saya kenal menyatakan kalau mereka nggak suka sama Tokyo dengan alasan terlalu sibuk, berisik, dan hustle-bustle lah. Mereka membandingkannya sama Osaka, Kyoto yang lebih tenang dan mungkin juga mereka emang lebih suka ketenangan. Namun, berhubung saya belum pernah ke Osaka dan Kyoto atau kota lainnya yang sunyi, saya nggak ada masalah sama Tokyo. Nggak ada masalah juga kok sama keadaan Harajuku di hari Minggu yang padat sampe cuma bisa lihat kepala manusia. Bisa saya tolerir.

Salah satu kelebihan Tokyo yang belum saya temukan di negara lain adalah diam. Walaupun udah mepet banget di kereta sampe kayak pepes pun nggak ada yang bicara sedikit pun, semuanya terdiam tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Nggak hanya pas lagi ramai, kereta sepi pun mereka juga diem aja atau ya baca buku. Ini nih satu lagi kelebihan Jepang, dengan segala kemajuan  dan kecanggihan teknologinya tapi masyarakatnya masih sangat analog. Baca majalah, buku, koran dan nggak ada tuh pemandangan video call di kereta atau nelpon di pintu kereta pakai loudspeaker. Saya yang mau ngobrol aja jadi bisik-bisik. Malu kalo kedengeran suaranya. Bisa disimpulkan dalam keadaan ramai pun kalian gak akan pusing, karena semua bisa berjalan teratur dalam diam.

Walaupun mereka menganut "silent is gold" tapi mereka nggak diem aja kalau ngeliat turis bloon kayak saya merasa kesulitan. Ini beneran sih mereka baik-baik banget. Pernah di suatu malam saya salah tap kartu metro sehingga saya nggak bisa keluar stasiun, lalu ada mba-mba Jepun yang baik hati nganterin saya ke pihak yang bertugas. Dengan Bahasa Inggris yang terbata-bata mereka nggak nyerah untuk nolongin, jelasin, dan sampai nanya apakah saya udah punya tempat nginep? Hal ini juga berlaku di tempat umum kayak pusat perbelanjaan, mini market, sampai stasiun atau airport. Bisa disimpulkan kan kalau saya bukan kebetulan ketemu orang baik, tapi mayoritas orangnya (mungkin) memang baik. Mereka mungkin punya mindset kalau nolongin orang nggak boleh setengah-setengah, harus sampai masalah selesai. Salut!

Selain itu, Tokyo bisa bikin saya kembali lagi nostalgia sama masa kecil. Saya sempat mampir ke game center di Akihabara buat main-main dan saya seneng banget lihat semua orang tak mengenal umur main bareng. Nggak ada tuh kalimat "masa masih main? Nggak malu sama umur?" Jepang nggak kenal umur, main game adalah salah satu hal wajib. Saya yakin kenapa masyrakat Jepang nggak pernah kehabisan ide, karena mereka tidak dibatasi stigma bahwa bermain adalah untuk anak kecil saja. Mereka tak pernah membatasi diri untuk berimajinasi dan membiarkan 'inner-child'-nya tetap hidup. Rasanya seneng lihat bapak-bapak kantoran yang bawa 1 album isi kartu Pokemon terus dengan cueknya dikeluarin aja gitu dari tas kerjanya. Ada perasaan lega untuk memvalidasi diri saya yang sampai sekarang masih suka main ke game center. He he.

Sebelumnya saya udah bilang kalau Tokyo itu fotogenik atau mungkin memang Jepang yang fotogenik? Foto-foto random di bawah ini buktinya..
Lomo La Sardina /  Kodak Gold 200
Lomo La Sardina / Lomography 400
Lomo La Sardina / Lomography 400
Foto-foto di atas cuma hasil dari sebuah kamera film, bukan kamera mahal dengan fitur mumpuni. Saya harus berterima kasih sama sinar matahari di Jepang yang brightness-nya pas karena nggak perlu nunggu golden hour buat bikin foto jadi bagus 🤣

Saya cuma mau mengingatkan kalau Jepang adalah sebuah perangkap. Perangkap di mana mereka bisa mengambil hati dan jiwa kalian. Saya cuma saranin selalu hati-hati aja sama negara ini karena mereka bisa bikin kalian korek-korek tabungan, cek Traveloka, bahkan tiba-tiba muncul pikiran bahwa liburan ke Jepang adalah sebuah keharusan tiap tahunnya. Saya yakin, tanpa sadar kalian akan memasukkan Jepang sebagai salah satu prioritas kan? Saya nggak menyatakan kalau Tokyo merupakan kota yang sempurna, cuma yang saya rasakan adalah Tokyo bisa membuat kita jatuh cinta bukan cuma sama hal-hal yang bagus aja, dengan segala keanehannya kita bisa tetap menerima untuk tetap jatuh cinta. [Chrissila Jessica | @jesch__)

Comments

Popular Posts